Translate

Copyright © 2014 News Magazine Theme. Designed by Ang Li-JASON. Powered by Blogger.
Home » » Sebuah Cerpen: From Punokawan With Love Part 1

Sebuah Cerpen: From Punokawan With Love Part 1

From Punokawan With Love Part 1

Heavy Metal: Industri Kreatif di Kaki Langit By Flanker35


Img Soure: Deviantart

Disuatu senja di seperempat kaki langit Jayakarta, nampak terdengar kebisingan hebat yang membuat penghuni kahyangan geger. Bahkan suara tersebut lebih bising dari kumpulan suara yang ditimbulkan oleh kumpulan dokar bermesin dan hiruk-pikuk Jayakarta. Mbah Semar yang tengah membaca koran sembari merileks-kan diri bersama kabut asap dari udud supernya-pun mendatangi asal suara tersebut dengan geram. Ternyata si Petruk tengah menggelar acara musik yang bersifat out door dengan mendatangkan band wayang bule yang memainkan musik metal. Turut berpartisipasi pula penabuh gendang yang didatangkan langsung dari langit Yunani, yang mana mereka dikenal sebagai pengiring lagu dewi musik, Muse.

Mbah Semar nampak murka setelah menilik apa yang ada didepanya, berjalan menuju panggung dengan mata melotot yang hampir copot, dan meminta acara tersebut dibubarkan dengan paksa.

"Bising...!!!", pekik mbah Semar dengan tenaga dalam, berteriak menggunakan ajian seng gembreng.

Tak ada satupun yang berani untuk menimpali, kecuali seorang wayang bule koplak yang memang belum tahu betapa berbahayanya sifat pemarah mbah Semar.

"Kenapa mbah?, kalau mbah merasa terganggu dengan musik kami, sebaiknya mbah minggat saja ke pojokan rumah sakit jiwa", ujar wayang bule dengan mengangkat muka dan membusungkan dada.

Seketika sekelompok kecil penonton tertegun, memasang wajah bengong karena terkejut dengan kelancangan wayang bule.

"Bocah londho gemblung gak ngerti sopan santun, siapa yang nanggap kamu?", tanya mbah Semar dengan mencoba menahan diri dari kemarahan.

Belum sempat wayang bule menjawabnya, tiba-tiba muncul-lah sosok Petruk dari balik panggung menyahuti.

"Sepurane ya mbah, jangan salah paham dulu to mbah, malu sama negeri persemakmuran di seberang mbah", sahut Petruk dengan penuh hormat.

Mbah Semar terdiam sesaat mengamati sekitar,

"Oke ramasalah, sing penting tertib. Setelah acara bubar temui saya di keratonya-nya maha menteri Togok".

"Sip, siap mbah, matursuwun".

Setelah mbah Semar berlalu, para penonton bersorai ria karena acara dilanjutkan kembali. Band wayang bule membakar lagi penonton dengan ritme musik yang bersemangat, padat dan cepat. Sebenarnya mbah Semar tidak sadar jika dirinya tadi di kibulin ajian sirep sakti yang langka milik wayang Bule. Sebuah mantra penenang yang ia pelajari dari bertapa di lapisan stratosfer Jerman bernama ajian prabu Mozart ing minuet.

Petruk yang menjadi promotor sekaligus penanggung jawab atas perhelatan tanggapan band, mengucapkan banyak terimakasih kepada para wayang bule yang telah memenuhi amanah sebagai penggelora jiwa di acara tersebut. Kini penonton yang didominasi wayang muda bubar dengan tertib dan suasana menjadi kondusif seperti sediakala. 

Sesampainya Petruk di keraton maha menteri Togok, ia segera disambut dua pengawal Candala yang berbadan gempal dan berkumis tebal. Pengawal tersebut menyampaikan jika ia sudah ditunggu para penggede punokawan di ruang rapat koridor slenting wolu. Tempat tersebut secara eksklusif digunakan oleh pejabat kahyangan Jayakarta ketika ada perhelatan rapat mendadak. Namun bertepatan dihari itu, dikarenakan ada keperluan, maha mentri Togok tidak bisa hadir dan pemimpin rapat digantikan oleh Bathara Narada. Beliau tidak bisa datang karena harus blusukan ke kahyangan persemakmuran Elisabeth, Barongpura, untuk melobi maha ratu disana demi merebut kembali FIR (Flight Information Region) yang ada di pucuk bukit Natuna. 

Pada sebuah layar raksasa yang terbuat dari jarik rurik putih, disitu terpampang tema diskusi yang akan dibahas:"Industri kreatif Kahyangan: Menuju Jayakarta Mandiri". Selang beberapa saat setelah Petruk mengambil posisi duduk, tiba-tiba Ki Lurah Gareng dari padepokan Sala rabulukmaneh terlihat beradu mulut dengan ratu Anpu Ningrum dari klab Banteng Mbranang. Ratu Anpu Ningrum mendapat kecaman satir dari Ki Lurah Gareng dan Klan Lintang Wiru karena ia dinilai lebih pantas menjadi bakul jamu ketimbang jadi pelayan rakyat pewayangan. Revolusi kebal yang ia canangkan diprediksi akan gagal total karena memang pada dasarnya wayang Jayakarta tidak kenthir

Ratu Anpu Ningrum mendapat amanah untuk meng-koordinir pembangunan wayang dan kebudayaan, namun kinerjanya dirasa berantakan: hanya melakukan sosialisasi jamu dari website ghaib revolusi kebal.

Namun menyalahkan antar sesama tanpa menelurkan solusi tidak akan mengubah apapun, justru hanya akan memperkeruh keadaan. Itulah yang ada di dalam benak Batara Narada, tangan kanan maha mentri Togok yang dikenal bijak. Ia mendekatkan bibirnya ke dekat toa unijagat dan mulai mengutarakan aspirasinya.

"Poro sedulur, mohon atensinya. Sepekan ini seperti yang kita semua ketahui jika kahyangan kita sedang kocar-kacir. Nilai tukar kepengan rupis merosot tajam dan berdampak pada lesunya roda perekonomian wayang Jayakarta. Dengan dalih barusan, mbah Semar yang baru saja mendapat solusi absurd mencoba mengumpulkan kita untuk melakukan jejak pendapat", pungkas Batara Narada dengan anggun disertai nada yang tegas bak pidato perang namun penuh rasa prihatin.

Mbah Semar meraih toa unijagat yang ada didepanya diselingi helaan nafas panjang yang teratur.

"Sedulur yang dimulyakan gusti pangeran semua, langsung saja sesuai tema rapat kita dikesempatan ini, yaitu "Industri kreatif Kahyangan: Menuju Jayakarta Mandiri". Demi penguatan kembali perekonomian wayang kawulo alit kita, mari sedikit berbicara dan banyak bekerja. Selanjutnya saya serahkan kepada saudara Petruk.

Kali ini Petruk rupanya tidak ngeh terhadap ceriwisan kordinator dan fokus matanya hanya tertuju pada game nekeran di hp-nya. Melihat Petruk yang tidak serius, Batara Narada tanpa pikir panjang langsung menyentlek Petruk dengan ajian pecut baladewa hingga tubuhnya terpental. Membuatnya salto belakang sambil geleng-geleng.

"Uhak....!", Petruk terbatuk dengan raut muka panik dan tubuh gemetar sembari membenahi kuncritan rambutnya.

"Iya kangmas Narada, jangan main serang dong ah. Kan yang jadi tokoh utama kali ini mbah Semar, jadi saya bingung harus ngomong apa", sambung Petruk kesal.

Mbah Semar menimpali,

"Kenapa gak kamu bawa sebuah perspektif musik, Truk, mbah yakin kamu punya visi tersendiri sebagai seniman tanpa karya sekaligus promotor musik wayang bule. Mbah tadi sekilas melihat adanya siklus transaksi jangka panjang yang menjanjikan, dalam artian bisa dijadikan opsi alternatif Industri kreatif kahyangan kita. Mbah tadi sebenarnya marah karena musiknya ugal-ugalan, tapi mbah tidak mau monoprespektif. Bukanya sok bijak, tapi diantara 1 keburukan pasti setidaknya ada 9 kebaikan bila kita mau membuka mata", terang mbah Semar mencoba se-ensklopedik mungkin karena otak Petruk harus dirangsang supaya tidak kemebul dan plonga-plongo ditengah jalan. 

Petruk belum merespon dan hanya mengelus-elus hidungnya yang mbangir diselingi tatapan kosong ke langit-langit, memberi waktu lidahnya untuk bisa sinkron dengan otaknya. Lalu terbesit di ingatanya tentang seorang wayang bule yang sekiranya bisa membantu menyelesaikan masalah ini: Band wayang yang belum lama tadi melakukan konser di kahyangan Jayakarta.

"Sebentar para sederek, saya akan memanggil seorang wayang yang spesial" ujar Petruk. Ia mengeluarkan ajian telepati nokiaraga dan memanggil kawanya, si wayang bule".

Hanya dalam hitungan detik wayang yang dimaksud langsung datang memenuhi panggilan. Wayang bule tersebut berjalan menembus tembok dengan mimik muka konyol, lalu menatap anggota dewan sembari nyengir kuda dan mengacungkan jari peace. 

"Gut ipening ledis en jentelmen atis-atis naik supermen. Jajaran petinggi wayang yang saya hormati, mungkinkah saya diundang kesini oleh mister Petruk untuk membawakan tembang campurmetal?" serunya dengan menggebu-gebu.

Sontak Ki Lurah Gareng mencela di dalam hati, berpikir jika wayang bule kenthir ini bagai anak wedhus cemple sembrono yang digiring ke tempat mafia penjagalan. Petruk dengan segera menghampirinya dan berbisik dengan penjelasan panjang lebar jika ia diminta hadir untuk mengemukakan pendapatnya tentang industri musik metal.

Setelah Bathara Narada megijinkanya berpendapat, ia memungut botol bir mini yang ada disakunya, menyalakan udud dan bergaya layaknya bos besar, lalu mulai berbicara.

"Baiklah wayang ledis dan jentelmen sekalian, sebagai penyabet gelar dewa gitar tentunya saya selalu bersikap kritis terhadap musik", terangnya dengan sangat PD dan diakhiri dengan tepuk tangan. (Hanya Ia beserta Petruk saja yang bertepuk tangan, sedangkan jajaran elit wayang kahyangan justru melotot).

Ia menyampaikan jika tembang kahyangan Jayakarta pada umumnya lumayan atraktif: disitu ada beragam variasi genre seperti tembang  campursari otentik, campurdangdut, campurkeroncong, campurmelayu, bahkan campurtelek semua ia apresiasi. Namun ia mengutarakan jikalau manajemen musik seantero kahyangan Jayakarta sangatlah memprihatinkan, hanya dikuasai celeng kapitalis dimana pemain dan penikmat musik dijadikan sapi perah, budak pasar. Dalam hitungan hari saja musik semakin bersifat anachromatic dan inertia, makin menjemukkan, miskin inovasi, pengecut, yang ada hanya repetisi dengan warna senada, tidak lebih dari sebatas dagelan semata. Kalian harus melakukan sedikit perubahan.

Cak Bagong yang merupakan seniman produktif yang telah malang melintang di industri campursari, yang usahanya hampir bangkrut-pun angkat bicara,

"Berbicara mengenai celeng, anu, diakui ataupun tidak sepertinya kita semua telah digiring oleh billboiard, grummy, label rakaman Yahud, dan lain sebagainya. Seperti Billboiard yang kini selalu dipelototin kawula wayang muda, untuk apa musik di buat chart seperti klasmen bal-balan liga lebuh segala?. Mengapa mengikuti aturan main mereka?. Itu semua hanyalah intrik bisnis mereka yang dikemas dengan cantik agar kita terjerat, yang sesungguhnya melemahkan kita".

Wayang bule menganggukan kepala pelan dan menyambung pendapat Cak Bagong,

"Ya, Mister tua. Musik celeng kapitalis terlampau keterlaluan perihal dana untuk produksi lagu, promosi, menggaji musisi serta tenaga produksi. Sungguh, sebenarnya industri hiburan adalah bisnis yang menggiurkan, namun dilain sisi, mereka mengeleminasi apa yang tidak mampu mereka jual. Itulah mengapa kahyangan kami memilih untuk menemukan jalan lain".

"Jalan lain, apa itu anak muda?", tanya Bathara Narada kepada wayang bule.

"Di kahyangan Skandinavia yang spesial, kami menawarkan keunikan kami sendiri dan membuat dunia mendengarkan musik kami dengan volume maksimal. Musik itu bersifat scientific, eksperimental dan progresif. Daripada meniru alangkah baiknya menawarkan sesuatu yang baru. Itulah mengapa kahyangan Skandinavia khususnya Norwegia dengan identitas musik dhemit-nya dan Swedia dengan Gothenburg-nya mampu mensejajarkan diri dengan musik celeng kapitalis. Bahkan kiprah musik dhemit Norwegia bisa dikatakan sukses dengan menjelma komoditi ekspor terbesar, masuk sebagai pembelajaran tidak ofisial di sekolah-sekolah, dan tentunya menggerakan industri pewayangan. Menjadi tuan di tanah sendiri", terang wayang bule.

"Kalau begitu basisnya berawal dari skala regional to?", respon Bathara Narada yang semakin antusias.

"Betul Om Mister, dan sebisa mungkin kita harus menghindari pemikiran yang neoklasik: a blessing in dissguise, ngerti rak?", ujar wayang bule.

"Ah, bahasamu sulit dipahami kayak undang-undang aja to le", cetus Ratu Anpu.

"Halah bakul jamu kok diajak jejak pendapat, mbok ya pulang aja sana jualan dawet nduk", Ki Lurah Gareng menimpali cuatan Ratu Anpu. Lagi, Bathara Narada menenangkan mereka, kali ini dengan ajian brengos kereng yang langsung membuat mereka berdua mules.

Cak Bagong yang merupakan sutradara film komersil-pun mendapat inspirasi dari uajran wayang bule,

"Kalau begitu saya ingin ada tembang kahyangan lokal untuk dijadikan soundtrack yang bisa mendongkrak penjualan film horror-action masterpiece saya kelak seperti yang berjudul Freddy Vs. Pocong, Pastur Jeruk Purut Vs. Jason, Kuntilanak kenthir dan Pocong banci, selain itu saya akan pekerjakan wayang-wayang muda Deathmetal yang mempunyai sense of horror yang elegan".

Satu suara dengan Cak Bagong, Ki lurah Semar yang juga menggeluti usaha batik besar yang berbasis di Sala rabulukmaneh bertekad berkolaborasi dengan para pembuat cover art campurmetal dan seniman tatto untuk mengkreasikan batik motif metal dan tradisional. Pun demikian dengan pekerja seni lain, mereka mencoba mengundang para wayang-wayang muda yang sarat dengan gebrakan imaji, anti-mainstream dan pemikiran kreatif.

"Yuppy, you are going on the roll. Music business is motivated by money, but the real music is motivated by energy and feeling", seru wayang bule yang diakhiri dengan memakai kacamata hitam dan menyedekapkan ke-dua tangan.

"Baiklah, saya akan menyakinkan kang maha mentri Togok untuk melobi para badut investor agar bersedia meminjamkan pinjaman lunak untuk pemanasan, bila diperlukan", seru Bathara Narada.

"Halah, paling - paling itu semua ya gak bakalan lebih dari gombal mukiyo," sahut Ratu  Anpu.

"Ratu Anpu manuk beo peot, bocah gemblung kowe!", Ki lurah Gareng menimpali.

Kak Shetto si pemerhati wayang anak, menengahi duel kedua wayang yang selalu berkonfontrasi lantaran rivalitas partai tersebut,

"Sebentar dulu Ratu Anpu, saya kira ini bisa menjadi titik balik terlaksananya revolusi kebal yang anda canangkan. Begini, berdasarkan data yang telah saya himpun, tingkat kriminalitas wayang muda seantero Jayakarta saat ini sudah bisa dikatakan pada level kronis. Cukup rasional bila isu tersebut direlasikan dengan pribahasa: "jemari yang tidak digunakan akan dirasuki setan". Seni bisa direlasikan dengan sebuah perubahan, revolusi, imun opsional dari virus kebobrokan ini".

Senada dengan Kak Shetto, wayang guru Anggito Bimanyu menambahkan jikalau "tiada seniman yang ditakdirkan untuk jadi miskin, karena jemari meraka akan terus menghasilkan, dan hasil tersebut adalah jalan hidup mereka". Sense of art wayang remaja Jayakarta sangat rendah, kendati mereka begitu teoritis dan kritis, akan tetapi tidak menyuguhkan apapun. Besar harapan dengan aktifitas ini tentunya akan menggerakan perekonomian dan menciptakan mata pencaharian di komunitas ini. Pak maha mentri Togok juga penggemar musik campurmetal, beliau pasti setuju dengan inisasi ini".

"Kalau begitu, bagaimana langkah sistematis untuk menerapkan, serta mengawalinya, Bathara Narada?, tanya Ki lurah Semar.

"Demografis khas metropolitan yang potensial seperti BanmenDung raya, Yogiya raya, Sala rabulukmaneh, Balio raya beserta sumber daya wayangnya yang adaptif adalah fokus utama kita. Tidak ada teori eksplisit mengenai ini, segera bentuk dan kumpulkan para agen wayang muda untuk menjadi penggerak", perintah Batara Narada.

"siap!!", seru para anggota dewan pewayangan serempak.

"Petruk, besok kamu kumpulkan seluruh elemen pewayangan baik dari kubu metal ataupun non metal, kita sampaikan poin penting diskusi kita agar sampai ke telinga mereka", ujar Bathara Narada menambahkan.

"Baiklah, saya undur diri dulu, personil band saya sudah menunggu untuk tour di kahyangan sebelah", seru wayang bule yang setelah itu mengeluarkan ajian ninja kampret agar bisa menghilang. Namun ternyata ia salah mengelurkan mantra, yang menghilang bukan dirinya, melainkan pakaian lusuh yang menempel di tubuhnya. Ratu Anpu sontak terbelalak karena melihat bagian yang gandul-gandul menggelora milik wayang bule. Dengan menahan malu, wayang bule beralih ke plan B dengan pergi secepat kilat menembus tembok. Padahal Bathara Narada ingin mentraktirnya ngopi di warung nasi kucing pojokan terminal, namun tidak sempat mengutarakan.

"Ratu Anpu, anda kok diam saja?", Anggito Bimanyu menanyakan sambil cekikikan.

"Tidak masalah, diamnya Ratu Anpu dalam hal bertikai itu adalah emas, namun keadaan diam para wayang muda adalah puncak ketiadaan",
ujar Ki lurah gareng dengan sedikit terpingkal, dan seluruh isi ruangan-pun terbahak geli.

Keraton yang menyerupai bokong terbalik dengan atap berwarna hijau yang konon dikutuk ini-pun nampak terlihat seperti karnival kehidupan untuk sesaat. Para pejabat wayang mengesampingkan ego, melupakan anjungan partai masing-masing dan bersinergi demi mendukung industri kreatif di kaki langit. Dan perjudian di kahyangan Jayakarta-pun dimulai.

Bersambung...
_________________________________________________________

(This short story is just a reflection on music I like the most and inspired by a backtalk with my girlfriend who loves art so much. Every single idea I've written above was not purposed for something got under the skin. I am really sorry if you feel that some of satyr opinions offend you. You also have an option to translate the whole text by the translation button on the upper sides of the page. Thank you.)
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment